Ahmad Bahauddin Nursalim - Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas


K.H. Ahmad Bahauddin, lebih dikenal sebagai Gus Baha , lahir 29 September 1970 di Narukan, merupakan ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang dari menurut Rembang. Ia dikenal menjadi salah satu ulama ahli tafsir yg memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur'an. Ia merupakan salahsatu murid berdasarkan ulama kharismatik, Kiai Maimun Zubair.


Gus Baha merupakan putra menurut seseorang ulama pakar Al-Qur’an dan pula pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA, Kiai Nursalim al-Hafizh, menurut Narukan, Kragan, Rembang. Kiai Nursalim merupakan siswa dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Mergoyoso, Pati. Nasabnya bersambung pada para ulama besar . Bersama Kiai Nursalim, KH Hamim Jazuli (Gus Miek) memulai gerakan Jantiko (Jamaah Anti Koler) yang menyelenggarakan kajian Al-Qur’an secara keliling.

Jantiko lalu berganti Mantab (Majelis Nawaitu Topo Broto), lalu berubah jadi Dzikrul Ghafilin. Kadang ketiganya diklaim bersamaan: Jantiko-Mantab dan Dzikrul Ghafilin.[3]


Dari silsilah famili ayah, Gus Baha’ adalah generasi ke-4 ulama-ulama ahli Al-Qur'an. Sedangkan dari silsilah famili ibu, Gus Baha sebagai bagian dari keluarga besarulama Lasem, dari Bani Mbah Abdurrahman Basyeiban atau Mbah Sambu.


Keluarga


Setelah menyelesaikan pendidikannya pada Sarang, Gus Baha’ menikah menggunakan seorang anak Kiai yang bernama Ning Winda pilihan pamannya menurut famili Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Ada cerita menarik menggunakan pernikahan dia. Jadi sebelum lamaran, Gus Baha’ menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu. 


Beliau mengutarakan bahwa kehidupan dia bukanlah model kehidupan yang glamor, melainkan kehidupan yg sangat sederhana. Beliau berusaha meyakinkan calon mertuanya buat berpikir ulang atas rencana pernikahan tadi. Tentu maksud dia supaya mertuanya nir kecewa pada kemudian hari. Namunmertuanya hanya tersenyum dan mertuanya hanya mengatakan "klop" alias sami mawon kalih kulo (sama saja menggunakan gw).


Kesederhanaan Gus Baha’ dibuktikan ketika beliau berangkat ke Pondok Pesantren Sidogiri buat melangsungkan upacara akad nikah yg telah dipengaruhi waktunya. Gus Baha’ berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus kelas ekonomi. Kesederhanaan dia bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya sejak kecil. Setelah menikah, Gus Baha’ mencoba hayati berdikari menggunakan famili barunya. Gus Baha’ menetap pada Yogyakarta.Selama di Jogja, dia menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecilnya.


Semenjak Gus Baha’ menetap di Yogyakarta, banyak santri-santri dia di Karangmangu yg merasa kehilangan. Hingga pada akhirnya mereka menyusul Gus Baha’ ke Yogya dan urunan atau patungan buat menyewa tempat tinggalpada dekat tempat tinggaldia. Tiada tujuan lain selain buat tetap mampu mengaji pada dia. Ada kurang lebih lima atau 7 santri mutakhorijin al-Anwar juga MGS yg ikut ke Yogya. Saat di Yogya inilah kemudian banyak rakyat lebih kurang rumah Gus Baha’ yang akhirnya minta ikut ngaji kepada beliau.


Gus Baha' minidididik belajar & menghafalkan al-Qur'an secara eksklusif sang ayahnya dengan memakai metode tajwid & makhorijul alfabetsecara disiplin. Hal ini sinkron dengan ciri yg diajarkan sang guru ayahnya, yaitu KH. Arwani Kudus. Kedisiplinan tersebut membuat Gus Baha’ pada usianya yang masih belia, sanggup menghafalkan Al-Qur'an 30 Juz beserta Qira'ahnya. Menginjak usia remaja, ayahnya menitipkan Gus Baha' buat mondok & berkhidmah pada Syaikhina KH. Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang.[6] Pondok al-Anwar sempurna berada kurang lebih 10 km arah timur menurut rumahnya.


Di Pondok Pesantren al-Anwar inilah keilmuan Gus Baha’ mulai menonjol misalnya ilmu hadis, fikih, & tafsir. Dalam ilmu hadis, Gus Baha’ bisa mengkhatamkan hafalan Sahih Muslim lengkap dengan matan, rowi & sanadnya. Selain Sahih Muslim beliau jua mengkhatamkan & hafal isi buku Fathul Mu'in & kitab-buku gramatika bahasa arab seperti 'Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik. Bahkan berdasarkan sebuah cerita, menggunakan banyaknya hafalan yg dimiliki oleh Gus Baha’, menjadikan dia menjadi santri pertama al-Anwar yg memegang rekor hafalan terbanyak. 


Selain itu, dari cerita lain juga menjelaskan bahwa, saat akan mengadakan forum musyawarah atau batsul masa’ildi pondok banyak sahabat-teman Gus Baha’ yg menolak bila Gus Baha’ buat ikut dalam lembaga tersebut, karena dia dianggap tidak berada pada level santri pada umumnya karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan banyaknya hafalan yang dimiliki sang beliau. Maka, atas dasar kedalaman keilmuan yg dimiliki Gus Baha’, hal ini yang kemudian menciptakan Gus Baha’ diberi kepercayaanbuat menjadi Rois Fathul Mu'in dan Ketua Ma'arif di jajaran kepengurusan Pesantren al-Anwar.[7]


Selain menonjol menggunakan keilmuannya, beliau juga adalah sosok santri yg dekat menggunakan kiainya. Dalam banyak sekali kesempatan, dia seringkali mendampingi pengajar beliau Syaikhina KH. Maimoen Zubair untuk aneka macam keperluan. Mulai menurut sekedar berbincang kalem, sampai urusan mencari ta'minuman beralkohol dan mendapat tamu-tamu ulama-ulama akbar yg berkunjung ke al-Anwar. Hingga beliau dijuluki menjadi santri kesayangan Syaikhina KH. Maimoen Zubair. Dalam sebuah cerita, dia pernah dipanggil buat mencarikan ta'minuman beralkohol tentang suatu persoalan oleh Syaikhina. Lantaran saking cepatnya ta'bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu surat keterangan buku yg dimaksud, sampai Syaikhina pun terharu dan mengungkapkan "Iyo Ha'... Koe pancen cerdas tenan" (Betul Ha'... Kamu memang benar-sahih cerdas).


Gus Baha' pula kerap dijadikan contoh teladan sang Syaikhina ketika menaruh mawa'izh pada berbagai kesempatan mengenai profil santri ideal. "Santri tenan iku yo koyo Baha' iku...." (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha' itu....) begitu sekitar ngendikan Syaikhina. Selain mengeyam pendidikan pada Pondok Pesantren al-Anwar Rembang, pernah suatu waktu ayahnya memperlihatkan kepada Gus Baha’ buat mondok pada Rushoifah atau Yaman. Namun, Gus Baha’ menolaknya dan lebih menentukan buat permanen pada Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi'iyyah PP. al-Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA. Setelah ayahnya wafat pada tahun 2005, Gus Baha' melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan pada pondoknya, pondok pesantren LP3IA Narukan.


Saat menjadi pengasuh pada pondoknya, banyak santri yg terdapat di Yogyakarta merasa kehilangan atas kepulangan dia ke Narukan. Akhirnya para santri pulang sowan dan memintanya mau kembali ke Yogyakarta, sampai pada akhirnya Gus Baha bersedia, tetapi hanya satu bulan sekali. Selain sebagai pengasuh di pondoknya & mengisi pengajian pada Yogyakarta, Gus Baha pula diminta buat mengisi pengajian tafsir al-Qur'an di Bojonegoro, Jawa Timur. Adapun untuk waktunya dibagi-bagi, di Yogya minggu terakhir, sedangkan pada Bojonegoro minggu ke 2 setiap bulannya. Hal tersebut, Gus Baha’ lakukan secara rutin sejak 2006 sampai sekarang.


Keistimewaan


Sebagai seseorang santri tulen, yg berlatar belakang pendidikan non-formal & non-gelar, Gus Baha' diberi keistimewaan buat sebagai menjadi Ketua Tim Lajnah Mushaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.[9] Gus Baha' duduk bersama para Profesor, Doktor & ahli-ahli Al-Qur'an menurut semua Indonesia misalnya Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib & para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain.


Pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy bahwa kedudukan Gus Baha' pada Dewan Tafsir Nasional selain sebagai mufassir, jua sebagai mufassir faqih karena dominasi dia pada ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam al-Qur'an. Setiap kali lajnah menggarap tafsir dan mushaf al-Qur'an berdasarkan Prof. Quraisy, posisi Gus Baha’ selalu di dua keahlian, yakni menjadi mufassir seperti anggota lajnah yang lain, juga sebagai Faqihul Qur'an yang mempunyai tugas spesifik mengurai kandungan fikih dalam sunting asal]


Teladan yg sanggup ditiru dari Gus Baha' adalah tentang kesederhanaanya. Kesederhanaan yang dipraktikan Gus Baha’ bukan berarti keluarga Gus Baha’ merupakan famili yg miskin, karena jikalau dicermati menurut silsilah lingkungan keluarganya, tiada satupun keluarganya yg miskin.


Bahkan kakek Gus Baha’ menurut jalur bunda adalah juragan tanah pada desanya. Saat dikonfirmasi sang penulis wacana kesederhanaan dia, dia menyatakan bahwa hal tadi adalah karakter famili Qur'an yg dipegang erat oleh leluhurnya. Ada keliru satu wasiat berdasarkan ayahnya yang mengungkapkan agar Gus Baha' menghindari harapan buat sebagai insan mulia. Hal inilah yang hingga kinimewarnai kepribadian & kehidupan dia sehari-hari.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama