Sebenarnya gw mengenal nama Gus Baha’ itu sudah usang. Kira-kira empat tahun yang kemudian, ada seseorang teman asal Bojonegoro yg memberitahukan ke gw tentang sosok tadi. Katanya, beliau juga telah lamamengasuh sebuah lembaga pengajian rutin di Bojonegoro. Kata sahabat gw, beliau itu memanglah orang ngalim. Alumnus pondok Sarang yg diasuh KH. Maimoen Zubair, yg sudah terkenal lebih dulu semenjak lama. Teman gw itu menaruh garansi lagi, bahwa kiai belia itu memang sahih-benar alim, hafal al-Quran, hadits, teks buku & menguasai ilmu bahasa Arab.
Lantaran seperti itu kealimannya, nir heran santrinya banyak sekali. Mereka sering mengikuti pengajian Gus Baha’. Mereka jua kerap merekam pengajian itu dan terkumpul hingga ratusan file. Teman gw itu kebetulan pula punya perpaduan rekaman tadi. Ia juga pernah berjanji akan menghadiahkan pada saya, falshdisk yang berisi gugusan pengajian yang berbentuk audio tadi. Sampai sekarang formasi mp3 pengajian Gus Baha’ itu tidak kunjung saya terima. Tetapi tak jadi soal, karena kinisaya tidak kesulitan mencarinya. Di internet rekaman pengajian Gus Baha’ sangatlah berlimpah. Artinya aku tidak akan menagih janji lamadari teman gw itu. Saya ikhlaskan saja.
Dari gambaran singkat pada atas, perlu dimunculkan satu pertanyaan krusial: mengapa pengajian Gus Baha’ selalu didengar oleh banyak orang dan terkesan damai? Maka jawabannya kentara, bahwa itu ditimbulkan beliau keliru satu kiai yg sangat berwawasan. Dengan wawasan yang luas dan dalam.Setidaknya saya punya 3 argumentasi tentang itu. Pertama, Gus Baha’ tidak saja hafal teks ayat al-Qur’an dan hadist, namun pula hafal teks isi kitabkarangan ulama yang dipelajarinya. Nilai lebih inilah yang bagi gw menjadi faktor penting kekaguman banyak orang terhadapnya.
Kedua, referensi yg dia jajak sangat beragam. Beliau nir hanya menguasai teks-teks Arab dari turats (kitabkuning) yg biasa dipelajarinya. Di banyak pengajiannya kita akan mengetahui, apabila dia mengakui tak jarang jua membaca teks-teks lainnya di luar kitabkuning, contohnya kitab-buku karangan Prof. Dr. Quraish Shihab dan Karen Armstrong.Dan ketiga, pemikiran inklusif menjadi identitas yang melekat dalam diri Gus Baha’. Kita bisa merasakan sikap inklusif itu saat mendengar isi pengajiannya yang selalu tidak kaku, terbuka & disarikan dari beragam pemikiran orang lain. Sikap inilah yg menciptakan semua penyampaiannya sangat berkesan, menenangkan, mendamaikan, kalem, gembira, lucu, namun sangat dalam & luas isinya. Gus Baha’ memanglah sosok ulama yg luwes.
Kalau disimpulkan ad interim di tengah catatan sederhana ini, maka kepopuleran Gus Baha’ itu ditimbulkan satu faktor primer: dia merupakan pengajar yang berwawasan. Dalam makna kebalikannya,wawasan yg dia kuasai minim, maka belum tentu namanya akan sanggup melejit misalnya sekarang ini. Oleh karena itu pengajar yang berwawasan luas niscaya punya nilai lebih dibanding guru yang sempit pandangan dan sedikit ilmunya. Salah satu keunggulan ini mampu dicermati pada ketika ia menyampaikan pengajaran kepada siswa-muridnya. Guru yg punya wawasan luas, akan memberikan pengetahuan & ilmu yang luas juga kepada para muridnya itu. Ia tidak hanya terpaku dalam buku diktat yg dipegangnya. Ia selalu menambahi materi pembelajarannya menurut poly surat keterangan lainnya. Bahkan beliau sudi menambah materi pada sekolahnya itu menggunakan kitab-kitabdi luar beban mengajarnya. Maka menurut itu pengajar yang berawawasan pastilah seorang pengajar yg sukamembaca kitab. Suka browsing pengetahuan pada mbah Google. Hobi update berita di media. Tidak saja update status di medsosnya atau memajang foto selfienya belaka.
Sosok Gus Baha’ yang disampaikan di awal tulisan, sekedar model saja. Tentang bagaimana seharusnya sebagai pengajar ideal, yg beberapa hari silam diperingati pada tema besarHari Pengajar Nasional. Sebab rugi kiranya peringatan yg ditayangkan pada mana-mana dengan keharuan & tangisan kebahagiaan itu, tidak dibarengi dengan kritik dan penilaian mendalam terhadap para pengajar pada dunia pendidikan kita. Mengapa pengajar wajib berwawasan luas? Sederhana sekali jawabannya, sebab guru yg punya wawasan luas akan memudahkan proses pendidikan kita. Pertama, dia nir akan kesulitan mengajar di kelas lantaran perbendaharaan materinya sangat berlimpah. Berbeda waktu yg dikuasai pengajar hanya yang itu-itu saja.
Kedua, anak didik pada kelas akan terbiasa mendapatkan majemuk pandangan mengenai materi yg diajarkan gurunya itu. Sehingga siswa akan sanggup lebih dewasa pada berpikir. Ketiga, guru yang berwawasan luas, niscaya bisa menghidupkan suasana kelas yang sepi. Kelas menjadi nir monoton, lantaran sang guru sangat lihai berinovasi dalam cara penyampaiannya. Namun saya wajibmengakui, kritik atau penilaian tentang pengajar yang berwawasan itu akan menemui tembok tebal. Keinginan buat merealisasikan asa itu pasti akan menemui banyak hambatan & tantangan. Baik tantangan & hambatan menurut aspek pemerintah, maupun dari aspek individu pengajar itu sendiri.
Tapi saya perlu tetap optimis, bahwa asa yang mulia namun banyak kendala itu niscaya mampu terwujud. Syaratnya, setiap langsung pengajar harus menyadari peran krusial dirinya dalam dunia pendidikan anak bangsa. apabila misalnya itu, pasti secara sukarela beliau akan berupaya keras buat menambah wawasan bagi dirinya. Lantaran ia paham, pengajar menambah wawasannya, adalah keniscayaan hayati yang tidak mampu dihindari. Para gurupun akan berusaha menambah asal bacaannya, walaupun butuh menyisihkan sebagian penghasilannya. Merekapun akan mengatur waktu hidupnya menggunakan menyisipkan jadwal membaca menjadi aktivitas pentingnya. Merekapun tidak segan buat mengupdate fakta yang setiap hari diberitakan media massa dan media elektronika. Demi tahu laju era yang terus berganti ini.
Dengan istilah lain, para guru akan terbiasa hidup dengan tradisi atau budaya muthalaah. Tradisi senang & banyak membaca. Tiap hari, tiada henti. Seperti yang dipraktikkan & diakui Gus Baha’ dalam poly pengajiannya.
Posting Komentar